SELAMATKAN LINGKUNGAN HIDUP UNTUK ANAK CUCU KITA

Senin, 15 Desember 2008

Segera Galakkan Penanaman Bakau

Jakarta, Kompas - Hutan bakau memiliki sistem perlindungan dan pengamanan kawasan pesisir yang sangat baik. Setiap gelombang pasang yang datang mampu diredakan melalui hutan yang lebat. Tidak mengherankan, banyak daerah yang memiliki hutan bakau umumnya lolos dari terjangan tsunami. Oleh karena itu, sudah saatnya digalakkan penanaman bakau di sepanjang pesisir daerah yang potensial terkena tsunami.
"Departemen Kehutanan telah mengalokasikan dana Rp 806 miliar yang diambil dari sisa dana Gerakan Nasional Reboisasi Lahan tahun 2003/2004," kata Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Widi A Pratikto di Jakarta, Selasa (11/1).

Menurut Widi, hutan bakau yang memiliki ketebalan 60 meter sampai 75 meter dari bibir pantai mampu mengurangi ketinggian gelombang laut sekitar 3,5 meter.
"Jika terjadi gelombang pasang setinggi 4,5 meter di suatu daerah yang memiliki hutan bakau dengan lebar 65 meter dari bibir pantai, hamparan bakau itu ternyata mampu menurunkan gelombang sehingga saat di bibir pantai, gelombang tsunami itu semakin pendek, yakni tersisa satu meter," katanya.

Kasus tsunami di Banda Aceh dan Simeulue telah memberikan fakta-fakta menarik. Pertama, gelombang tsunami semakin jauh masuk ke daratan jika tipe pantai teluk. Pada pantai terbuka, dampaknya lebih kecil. Banda Aceh merupakan pantai teluk, sedangkan Simeulue termasuk pantai terbuka.
Kedua, gelombang tsunami akan semakin jauh masuk ke daratan jika tipe pantai datar. Ini bertolak belakang jika tipe pantai curam. Aceh merupakan pantai datar, sebaliknya Simeulue tergolong pantai berbukit.

Ketiga, gelombang tsunami akan semakin jauh masuk ke daratan jika kondisi pesisirnya miskin mangrove (bakau). Kondisi gelombang bertolak pada wilayah pesisir dengan mangrove yang intensif. "Ketebalan hutan bakau sekitar 1.200 meter mampu mengurangi gelombang tsunami sekitar dua kilometer," ujar Widi menjelaskan.
Keempat, gelombang tsunami semakin pendek masuk ke daratan pada lahan pesisir dengan kebun ekstensif dan massa bangunan bertingkat yang memenuhi persyaratan teknis bencana. Massa bangunan di kawasan perdagangan, perhotelan, dan kantor pemerintahan dapat bertahan dari kehancuran daripada massa bangunan di kawasan perumahan.
Selain itu, perlu penentuan zona pemanfaatan wilayah pesisir rawan tsunami. Pembagian zona ini patut mempertimbangkan adanya wilayah konservasi, penyangga, dan zona pemanfaatannya.

Langkah yang perlu dilakukan dalam penataan itu adalah penentuan batas minimal zona konservasi, zona penyangga, dan pola struktur tata ruang pada kawasan pesisir tsunami dengan meminimalisasi kemungkinan bahayanya.
Pada zona konservasi, misalnya, fungsi kegiatan langsung berhubungan dengan laut atau ekosistem pesisir dan laut, seperti hutan bakau, pertambakan, prasarana kelautan dan perikanan. Kegiatan di zona ini juga tak menciptakan perkembangan penduduk secara besar- besaran, misalnya perkebunan. Untuk zona penyangga, misalnya, fungsi kegiatan berkaitan dengan proses produksi hasil laut dan perikanan. (JAN)