SELAMATKAN LINGKUNGAN HIDUP UNTUK ANAK CUCU KITA

Sabtu, 31 Oktober 2009

Kisah Muram dari Padang Satwa

indosiar.com

Watumohai - Padang savana Watumohai. Padang sunyi ini bagian dari Taman Nasional Watumohai di Sulawesi Tenggara. Savana Watumohai dibelah oleh jalan lintas dari Langkowala ke Lanowulu, dengan latar belakang Gunung Watumohai. Gunung yang berarti batu hangus atau batu gosong ini, menjadi habitat ribuan ekor rusa, burung maleo, dan juga binatang endemik, anoa.

Ketika keadaan masih baik-baik saja, ribuan ekor rusa selalu terlihat merumput di savana. Namun, tiga tahun lalu perburuan besar-besaran telah dilakukan oleh penduduk sekitarnya. Ribuan rusa sengaja dibantai. Mereka ingin menguasai areal tanah milik taman nasional. Pemandangan indah pun berakhir sudah. sekarang savana ini tak lebih dari padang sunyi. Kadang ada beberapa ekor rusa, melintas dengan cepat menuju hutan. Mereka tak lagi berani tinggal di padang terbuka.

Rusaknya ekosistem juga terjadi pada hutan mangrove. Hutan mangrove yang berbatasan dengan savana ini, terbentang disepanjang pesisir kawasan Taman Nasional Watumohai. Hutan mangrove adalah rumah yang sangat menyenangkan bagi kepiting bakau dan udang putih. Ssumber penghidupan keluarga Suku Bajo, yang tinggal di sepanjang muara sungai.


Ada dua belas muara sungai disepanjang pesisir pantai, kawasan Taman Nasional Watumohai. Disetiap muara, ada belasan rumah Suku Bajo, yang turun temurun telah berdiam disana. Orang-orang Bajo ini hidup dari menangkap kepiting, rajungan, udang putih dan udang rebon. Akar bakau yang berserabutan diantara lumpur, sangat baik untuk berlindung kepiting, sekaligus menyediakan begitu banyak makanan kepiting.

Orang Bajo menangkap kepiting dengan bubu, terbuat dari anyaman bambu dan tali plastik. Kepiting bakau di kawasan ini merupakan kualitas ekspor yang disukai oleh konsumen Singapura.

Berbeda dengan kepiting, untuk menangkap rajungan, nelayan Bajo biasanya menggunakan jaring. Rajungan ini lalu direbus dan dipisah-pisahkan sesuai dengan ukurannya, sebelum disetor kepada pengepul.

Tak hanya kepiting dan rajungan, kerimbunan akar bakau ini juga merupakan habitat udang putih. Udang putih hasil tangkapan dari muara ini diekspor ke Jepang. Disamping udang putih, masih ada lagi jutaan udang kecil yang disebut udang rebon. Oleh Suku Bajo dijaring untuk bahan utama pembuatan terasi yang sangat terkenal. Orang menyebutnya terasi Tinanggea.

Sayangnya kelangsungan hidup kepiting bakau, udang putih dan rajungan, yang sangat tergantung pada ekosistem tempatnya hidup, mulai terganggu. Lebih banyak manusia yang mementingkan keuntungan sesaat. Penebangan liar pun marak dilakukan. Batang pohon bakau ditebang untuk tiang bangunan atau pun kayu bakar. Akibatnya, kawasan yang semula hijau subur, perlahan meranggas.

Seiring dengan itu, hasil tangkapan nelayan Bajo pun merosot tajam. Kepiting, rajungan dan udang putih, seolah menghilang entah kemana. Orang Bajo terancam kehilangan sumber kehidupannya.

Namun saat kondisi saling membutuhkan begitu kental, solusi pun muncul. Pengelola taman nasional membentuk lembaga komunitas mangrove, yang mencakup dua kabupaten di Kendari. Langkah ini ditempuh karena pengelola taman nasional, tidak memiliki tenaga yang cukup untuk melakukan pengawasan langsung.

Komunitas Bajo yang berdiam disetiap muara menjadi anggotanya. Mereka bertugas mengawasi penebang liar dan penanaman kembali batang mangrove. Sebuah usaha untuk mengembalikan dan melestarikan habitat kepiting, rajungan, udang putih dan udang rebon. Upaya melestarikan mata pencaharian mereka.

Apa yang dihadapi Taman Nasional Watumohai, hanyalah sepenggal kisah muram akibat ulah manusia. Masih banyak permasalahan lain, yang dihadapi setiap taman nasional dinegeri ini. Agaknya manusia harus terus belajar menjadi arif, hidup harmonis dengan alam agar alam tidak berbalik memusuhi kita.(Idh)